Perang Shiffin (Arab وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam).
1 Shafar tahun 37 Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali dan mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur di Damaskus, menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata. Awalnya, Imam Ali berusaha melakukan perundingan demi mencegah pertumpahan darah di antara sesama muslim. Namun, Muawiyah tetap membangkang dan pecahlah perang di sebuah daerah bernama Shiffin di tepi sungai Furat, Irak. Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Al-Quran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Al-Quran. Imam Ali yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini, delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin direbut dari tangan Imam Ali dan jatuh ke tangan Muawiyah
Perang ini terjadi setelah Muhammad meninggal dan Ali bin Abi Thalib menjabat kekhalifahan dan memaksa Abu Sufyan untuk mengakui kekhalifahannya, dan perang ini terjadi di bukit Shiffin. Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Amru bin Ash dan Ali berhasil menjatuhkan dan melemparkan pedang Amru bin Ash, namun Amru yang menyadari kekalahan dan kematiannya, Amru dengan nekad membuka celananya, sehingga Ali yang akan menghujamkan pedang kearah Amar dan melihat perbuatan Amru, Ali bin Abi Thalib segera memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amru yang telanjang. Sehingga Amru dengan perbuatan memalukannya itu selamat dari tebasan pedang Ali dan Zulfiqar dan juga selamat dari kematian.
Dalam sejarah kehidupan manusia-manusia besar tidak ada yang mampu menyamai sifat kesatriaan Ali bin Abi Thalib, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan walaupun dalam medan pertempuran dan ia adalah manusia yang tidak pernah mengambil keuntungan dari kelemahan lawannya walaupun hal itu bisa membawanya dalam kemenangan dan Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang dalam medan perang tidak pernah menempatkan ego atau hasratnya untuk membunuh lawannya, namun dikarenakan Allah dan nabinya ia mempersembahkan ematian lawannya sebagai hujjah atau bukti pembangkangan lawannya terhadap ke-Esa-an Allah dan kenabian Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar