Khilafah Bani Umayyah (Masa Kemajuan Islam)
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah, dimana pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.
Khalifah besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685- 705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717- 720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724- 743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi'e, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar ibn Abd al-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi'ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi'ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi'ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah.
Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka'bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M.
Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol. Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi'ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
- Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
- Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
- Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
- Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
- Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi'ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
A. Konstelasi Pemerintahan Bani Umayah
1. Asal-Usul dan Basis Kekuatan
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. (Mufrodi, 1997: 69)
Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang cukup cemerlang.
Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh beberapa faktor dan peristiwa politik sebagai berikut.
Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan wabah penyakit yang sangat ganas. Kepercayaan Umar terhadap kematangan politik Muawiyah ini begitu nampak sejak awal pengangkatan dirinya. Pada saat itu, sebenarnya Umar mengangkat dua orang menjadi pejabat negeri Syam; Syurahbil bin Hasanah dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Tetapi ketika ia sampai di daerah Jabiah, Syurahbil dipecat dari jabatannya. Ketika itu, Umar menyampaikan khutbahnya, “Saudara-saudara! Saya tidak memecat Syurahbil karena benci. Tetapi saya menginginkan orang yang kuat”. Menurut catatan Haekal (2001: 372), Syurahbil ini adalah seorang jenderal yang pandai mengatur strategi dan menjebak musuh, tetapi dia bukan seorang politikus yang tahu bagaimana mengatur rakyat sesuai dengan tujuan. Kebalikannya Muawiyah, dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu segala liku-liku persoalan. Karena itu, kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan hingga kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.
Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. (Mufrodi, 1997: 65)
Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari ini, menurut catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah terdesak dan merasa khawatir akan kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari ‘Amr bin al-‘Ash untuk menghentikan perang sementara dengan cara mengangkat mushaf al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh Muawiyah. Peristiwa ini kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses tahkim.
Pihak Muawiyah bersama penduduk Syam sepakat menunjuk ‘Amr bin al-‘Ash sebagai wakil bagi perundingan tersebut. Sedangkan pihak Ali bin Abu Thalib, atas usulan dari al-Asy’as, Zaid bin Hushain at-Thai, dan Mis’ar bin Fadaki, diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Sebenarnya Ali sendiri tidak menyetujui usulan dari tiga orang tersebut karena ia memandang Abu Musa lemah dalam diplomasi. Ali lebih setuju menunjuk al-Asytar. Akan tetapi ketiga orang ini, dengan mengajukan usulan ini ke pasukan Ali, tetap memaksakan Abu Musa dan tidak menerima yang lain. Ali pun akhirnya berkata kepada mereka, “Sungguh kalian menolak selain Abu Musa?!”. “Ya,” jawab mereka. Kata Ali, “Kalau begitu, lakukanlah apa yang kalian kehendaki!”. (Al-Thabari, 5/51)
Setelah kedua belah pihak menyepakati wakilnya masing-masing, mereka pun menulis surat kesepakatan yang dihadiri oleh para saksi dari kedua belah pihak. Inti dari kesepakatan yang dibuat pada bulan Shafar tahun 37 H ini adalah gencatan senjata dan akan bertemu kembali dalam sebuah perundingan pada bulan Ramadhan di Dumatul Jandal wilayah Adzruh.
Pasukan ini kemudian berpencar. Muawiyah kembali ke Syam, sedangkan Ali kembali ke Kufah. Namun sebagian dari pasukan Ali akhirnya ada yang tidak menyetujui proses tahkim ini walaupun sebelumnya mereka sangat bersemangat dan mendesak Ali untuk melakukan tahkim tersebut. Mereka pun keluar dari barisan Ali dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Mereka membuat basis pasukan di Harura yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahab.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada bulan Ramadhan , kedua belah pihak bertemu lagi di Dumatul Jandal disertai pasukannya masing-masing sebanyak 400 orang. Dalam pertemuan ini, ‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari berunding untuk menentukan khalifah. ‘Amr mengajukan Muawiyah, tetapi ditolak oleh Abu Musa. Kemudian ia menawarkan anaknya, Abu Musa pun menolaknya. Lalu Abu Musa mengajukan Abdullah bin Umar, tetapi ‘Amr menolaknya. Akhirnya Abu Musa mengusulkan agar Muawiyah dan Ali dilepas jabatannya terlebih dahulu dan penyelesaian akan diserahkan kepada musyawarah umat secara umum. ‘Amr bin al-‘Ash menyetujuinya.
Setelah bersepakat, keduanya menghadap kepada dua pasukan ini. Lalu ‘Amr meminta Abu Musa untuk menyampaikan kesepakatan itu lebih dulu dengan alasan ia lebih senior. Pada saat ini, Binu Abbas sudah merasa ada unsur tipu muslihat dari pihak ‘Amr. Dia pun menyarankan kepada Abu Musa agar ‘Amr yang lebih dulu menyampaikan kesepakatan keduanya. Tetapi Abu Musa tidak menghiraukan saran Binu Abbas.
Setelah Abu Musa menyampaikan isi kesepakatan itu, ‘Amr bin al-‘Ash tampil dan menyampaikan pidatonya. Ia mengatakan, “Sesungguhnya masalah ini, sebagaimana kalian dengar darinya tadi, dan ia telah melepas jabatan sahabatnya. Aku pun melepas jabatan sahabatnya sebagaimana ia melakukannya. Dan sekarang, aku menetapkan sahabatku, Muawiyah, karena dia termasuk walinya Usman bin Affan dan yang menuntut hukuman bagi pembunuh Usman, serta ia termasuk orang yang lebih berhak menduduki jabatan ini”. Mendengar pidato ini, Abu Musa pun marah. Lalu keduanya saling mencaci maki. Syuraih bin Hani, dari pihak Ali, mengangkat cemetinya dan mencambuk ‘Amr bin al-‘Ash. Putra ‘Amr membalasnya. Kemudian orang-orang berdiri dan memisahkannya, lalu mereka pun berpencar dengan membawa keputusan yang merugikan sebelah pihak ini.
Menurut catatan Ibnu Katsir (1988:7/314), pada saat kejadian ini ‘Amr memandang bahwa meninggalkan manusia tanpa imam, sedangkan kondisi umat seperti ini (chaos) akan membawa pada mafsadat yang berkepanjangan dan memperuncing perselisihan di antara mereka. Maka ia pun menetapkan Muawiyah demi kemaslahatan umat. Tetapi ini adalah ijtihad, sementara ijtihad itu bisa jadi benar atau bisa juga salah. Wallahu a’lam.
Keempat , seusai proses tahkim, lama kelamaan pasukan Ali terus berkurang dan melemah. Kelompok Khawarij yang berjumlah sekitar 12.000 orang turut serta merepotkan Ali. Wilayah kekuasaannya pun terus digerogoti oleh pasukan Muawiyah. Sementara kekuatan Muawiyah semakin kokoh. Dia mendapat dukungan yang kuat dari rakyat Syam dan keluarga Bani Umayah.
Kelompok Khawarij, walaupun Ali sudah beberapa kali mencoba untuk membujuk mereka agar bertobat dan kembali kepada barisan Ali, terus menerus menyimpan kekesalannya. Hingga akhirnya, mereka bersepakat untuk membunuh tiga orang yang langsung terlibat dalam proses tahkim; Ali, Muawiyah, dan ‘Amr bin al-‘Ash. Tetapi usaha pembunuhan itu hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan ‘Amr bin al-‘Ash selamat. Pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (660 M), Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Binu Muljam dan meninggal dunia pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Pada tahun ini, warga Kufah membaiat al-Hasan untuk menggantikan posisi ayahnya. Al-Hasan pun menerima baiat dari mereka. Tetapi tidak lama kemudian, dengan kegamangan hati mereka, mereka pun tidak sanggup menghadapi pasukan Muawiyah. Akhirnya al-Hasan mengajukan posisinya kepada Muawiyah melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am al-jama’ah). (Yatim, 1993: 40)
Kelima, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”. Sifat hilm, menurut Eaton (2005: 252), adalah sifat kasih sayang terhadap musuh dan kesiapan untuk menerima perbedaan. Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi. (Mufrodi, 1997: 71)
Selain itu, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amr bin al-‘Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu ini dengan Muawiyah merupakan empat politikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. (Watt, 1990: 19)
‘Amr bin al-‘Ash dikenang sebagai penakluk Mesir pada masa Umar bin al-Khattab dan menjabat gubernur pertama di wilayah itu. Sejak wafatnya Khalifah Usman, ‘Amr mendukung Muawiyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim karena kecerdikannya dalam diplomasi. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi kekhalifahan Muawiyah. Sedangkan Mughirah adalah seorang politikus independent. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah Persia bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintahan Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesannya menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Adapun Ziyad bin Abihi merupakan pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Muawiyah untuk memangku kursi gubernur di Basrah dengan tugas khusus di Persia Selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyah langgeng di wilayah propinsi paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan dukar diatur. (Mufrodi, 1997: 71)
2. Sistem Pemerintahan
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. (Binu Taimiyah, 1951: 42)
Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut. (Suhaidi, deemuhammad)
Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasulullah menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program futuhat (ekspansi). Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.
Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul Mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya masyarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayah telah berubah fungsi, kecuali ketika pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa ini pajak negara dialihkan menjadi harta pribadi para khalifah. Pendapatan pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor tambahan hasil bumi, hadiah festival, dan upeti anak dari bangsa barbar. (Manshur, Humaniora: VI)
3. Para Khalifah dan Pertumbuhan Kekuasaan
Dinasti Umayah sebenarnya terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Bani Umayah I dari tahun 41 – 132 H dan periode Bani Umayah II yang dimulai pada tahun 138 H. Bani Umayah I dimulai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Sedangkan Bani Umayah II di Andalusia dimulai oleh Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan yang dikenal dengan gelar ad-Dakhil dan diakhiri oleh Hisyam bin Muhammad bin Abdul Malik yang dikenal dengan gelar al-Mu’tamad.
Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula yang tidak patut dan lemah.
Adapun urutan-urutan khalifah Umayah I adalah sebagai berikut.
1. Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-60H/661-680M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64H/680-683M)
3. Muawiyah II bin Yazid (64H/683-683M)
4. Marwan bin Hakam (64H/684M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-96H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M)
11. Al-Walid II bin Yazid (125-126H/743-744M)
12. Ibrahim bin al-Walid(126-127H/744M)
13. Marwan II bin Muhammad (127-132H/744-750M)
Peralihan kekuasaan awal dari Muawiyah kepada putranya Yazid bin Muawiyah mengundang masalah dari beberapa pihak. Mengenai awal mula pengangkatan Yazid ada dua riwayat yang menerangkannya. Pertama, riwayat Hasan al-Bashri menyatakan, saat Mughirah bin Syu’bah menjadi gubernur di Kufah, Muawiyah menulis surat kepadanya: “Jika kamu selesai membaca surat ini, menghadaplah kepada saya, kamu akan saya pecat”. Al-Mughirah tidak segera menghadap Muawiyah. Maka tatkala ia menghadap, Muawiyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu datang terlambat?” Al-Mughirah berkata, “Saya membereskan satu perkara yang telah saya persiapkan sejak lalu”. Muawiyah berkata, “Perkara apakah yang kamu maksud?” Al-Mughirah menyambung, “Saya membereskan baiat orang-orang Kufah untuk Yazid”. “Apakah telah kamu lakukan itu?” tanya Muawiyah. “Ya!” kata al-Mughirah. Muawiyah berkata, “Jika itu penyebabnya, maka kembalilah, saya kembalikan kamu kepada kedudukanmu”. Kedua, riwayat Binu Sirin menegaskan bahwa ketika ‘Amr bin Hazm datang menemui Muawiyah, dia berkata, “Saya ingatkan kepadamu tentang umat Muhammad, siapa yang akan kau jadikan sebagai penggantimu sebagai khalifah?” Muawiyah berkata, “Kau telah menasihatiku dan kau telah mengatakan pendapatmu. Sesungguhnya tidak ada lagi kecuali anakku dan anak-anak mereka. Namun anakku jauh lebih berhak untuk memangku khilafah”. (Al-Suyuthi, 2001: 243-244)
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayah dimulai oleh Husein bin Ali yang berakhir dengan syahidnya Husein di Karbala.
Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Muawiyah II bin Yazid. Namun, Muawiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena tidak bisa menghadapi pergolakan politik yang terjadi. Suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah kekhalifahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, tepatnya ketika gerakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubeir berhasil ditumpas.
Kejayaan Bani Umayah semakin menonjol setelah dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul Malik, yaitu tahun 705-715 M. Pada masanya, Bani Umayah mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam sampai ke India, Afrika Utara, hingga Maroko, dan Andalusia. Pada masa ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:
a. Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia Kecil meliputi Ibukota Konstantinopel serta perluasan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
b. Wilayah Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan menyeberangi selat Jabal Thariq (Selat Gibraltar).
c. Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun (Amru Daria).
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) hubungan pemerintah dengan golongan oposisi mulai membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, beliau menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak lebih ringan dan kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan Bani Umayah berada di bawah khalifah Yazid bin Abdul Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam bin Abdul Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayah, melarikan diri ke Mesir. Ia ditangkap dan dibunuh di sana.
4. Kemunduran Bani Umayah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayah menjadi lemah, yaitu sebagai berikut.
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayah.
4. Lemahnya pemerintahan Bani Umayah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Bani Umayah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abdul Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas-duakan oleh pemerintahan Bani Umayah.
6. Kaum Mawali yang tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan turut menggerogoti kepemimpinan Bani Umayah.
7. Sikap antipati ulama terhadap kehidupan mewah keluarga kerajaan.
B. Perkembangan Peradaban Masa Bani Umayah
Pada masa pemerintahan Muawiyah, konsolidasi internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri, antisipasi atas setiap gerakan pemberontak, dan untuk memperlancar program futuhat. Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan, yakni: Diwan al-Jund (Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid (Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan Dokumentasi). (El-Hermawan)
Dari segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada di bawah kekuasan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayah didata dalam sebuah organisasi yang cukup besar. Satu divisi terdiri dari 5 corp, dua corp untuk barisan depan, satu corp untuk barisan tengah, dan dua corp lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Marwan bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan mengenalkan susunan tentara yang disebut kurdus. Para tentara dilengkapi dengan senjata canggih pada masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan roket.
Dari berbagai periode pemerintahan Dinasti Umayah, penaklukan merupakan program utama pemerintah yang sudah mentradisi, kecuali pada periode Umar bin Abdul Aziz. Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Penaklukan tersebut erat kaitannya dengan kondisi angkatan darat dan laut yang tangguh dan sistem administrasi yang mapan, rapi, dan komplit.
Konsekuensinya, segala kebijakan pemerintah menentukan berhasil tidaknya penaklukan. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Semasa Bani Umayah berkuasa, banyak institusi politik dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang politik. Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan. (Thohir, tt: 37)
Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Lambang negara yang sebelumnya tidak pernah dibuat oleh Al-Khulafaur Rasyidin, mulai dibuat pada masa ini. Ia menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya, yang menjadi ciri khas kerajaan Umayah.
Khalifah Adul Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Ia juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilan Khalifah Abdul Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Selain melakukan perbaikan di berbagai bidang seperti yang telah disebutkan di atas, dinasti Umayah juga melakukan perubahan dalam beberapa bidang sebagai berikut.
a. Bidang Sosial
Pada masa dinasti ini, stratifikasi sosial mulai dikenal. Rakyat imperium Arab terbagi kedalam empat golongan. Golongan pertama merupakan golongan yang terdiri atas kaum muslimin yang memegang kekuasaan dan dikepali oleh anggota istana serta kaum ningrat dari penakluk arab. Golongan kedua merupakan golongan neomuslim, baik dengan atas kemauan sendiri maupun paksaan. Golongan ketiga merupakan kaum non muslim yang mengikat perjanjian dengan kaum muslim. Golongan keempat merupakan golongan budak yang merupakan golongan terendah.
Meskipun sistem pemerintahan tidak berjalan demokratis, namun kondisi sosial pada masa dinasti Umayah tetap damai dan adil. Kebebasan memeluk agama pun dijamin. Di antara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan dan menata administrasi yang bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
1. Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha negara.
2. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
3. Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
4. Perlengkapan perang. (Fauzi, imronfauzi.wordpress.com)
Di samping usaha tersebut daulah Bani Umayah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua hakim (Qadli). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. selain itu, kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik.
b. Bidang Pendidikan
Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Para Khulafa agaknya kurang memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal. Meskipun demikian, dalam bidang ini, dinasti Umayah memberikan andil yang cukup signifikan bagi perkembangan budaya Arab pada masa sesudahnya, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, sastra, dan filsafat.
Bila dibandingkan dengan masa Khulafa Ar-Rasyidin, pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayah telah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan tersebut. Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam, di mana kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode pengajarannya pun tidak sama sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam berbagai bidang tertentu.
Tempat-tempat yang telah disediakan demi perkembangan pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayah ada tiga yaitu: Kuttab, Mesjid, dan Majelis Sastra. Kuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. (Yunus, 1981: 39)
Setelah pelajaran anak-anak di kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan yang dilakukan di mesjid. Pada Dinasti Umayah ini, pendidikan yang dilaksanakan di mesjid terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang ilmunya mendalam dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sedangkan majelis sastra merupakan balai pertemuan untuk membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik yang disiapkan oleh khalifah yang dihiasi dengan hiasan yang indah dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.
c. Bidang Seni
Pada masa Daulah Bani Umayah ini bidang seni juga mengalami perkembangan, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (arsitektur). Dalam bidang arsitektur, peran khalifah sangat menonjol. Merka sangat menyokong perkembangan seni ini seperti menara yang diperkenalkan oleh Muawiyah. Kubah as-Sakhra di Yerussalem yang dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691, merupakan salah satu contoh hasil karya arsitek muslim zaman permulaan yang paling cantik. Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali ditutup dengan kubah. Pada sekitar abad VII Walid bin Abdul Malik membangun masjid agung di Syiria berdasarkan nama-nama penguasa Dinasti Umayah. Dengan demikian, perkembangan arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.
d. Ilmu Pengetahuan
Pada masa dinasti ini, tepatnya pada paruh terakhir dinasti Umayyah, cabang-cabang ilmu baru yang sebelumnya belum pernah diajarkan dalam dunia Islam mulai diajarkan seperti tata bahasa, sejarah, geografi dan lain-lain. Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadis, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ;
2. Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. (Suhaidi, http://deemuhammad.blogspot.com )
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Ia merupakan seorang orator dan penyair yang berpikiran tajam. Ia pula orang yang pertama kali menerjemahkan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam Bahasa Arab, seperti astronomi, kedokteran dan kimia. Bahkan ia memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang kimia dan kedokteran serta mengarang beberapa buku dalam bidang tersebut. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia. Di bawah pemerintahannya karya Yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Pada masa ini pula ilmu tafsir dan tafsir al-qur’an mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekuensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al-Quran dan makna Al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al-Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat. Karena tuntutan untuk mempelajari dan menafsirkan al-Qur'an itulah, dua jenis ilmu pengetahuan yakni filologi dan leksikografi mendapatkan perhatian oleh banyak orang. (Manshur, Humaniora: VI)
Selain ilmu tafsir, ilmu hadis juga mendapatkan perhatian serius. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar bin Amir dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis-hadis, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar bin Abdul Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari hadis ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode Rihlah. Pada masa dinasti inilah, kitab tentang ilmu hadis sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadis yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky), Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Di bidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran ahli hadis, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al-Quran dan hadis yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Melalui periode ini lahirlah sejumlah mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik bin Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah. (Chalil, 1989: 23)
1. Asal-Usul dan Basis Kekuatan
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. (Mufrodi, 1997: 69)
Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan karir politiknya yang cukup cemerlang.
Jika dirunut secara kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh beberapa faktor dan peristiwa politik sebagai berikut.
Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal dunia akibat serangan wabah penyakit yang sangat ganas. Kepercayaan Umar terhadap kematangan politik Muawiyah ini begitu nampak sejak awal pengangkatan dirinya. Pada saat itu, sebenarnya Umar mengangkat dua orang menjadi pejabat negeri Syam; Syurahbil bin Hasanah dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Tetapi ketika ia sampai di daerah Jabiah, Syurahbil dipecat dari jabatannya. Ketika itu, Umar menyampaikan khutbahnya, “Saudara-saudara! Saya tidak memecat Syurahbil karena benci. Tetapi saya menginginkan orang yang kuat”. Menurut catatan Haekal (2001: 372), Syurahbil ini adalah seorang jenderal yang pandai mengatur strategi dan menjebak musuh, tetapi dia bukan seorang politikus yang tahu bagaimana mengatur rakyat sesuai dengan tujuan. Kebalikannya Muawiyah, dengan usianya yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu segala liku-liku persoalan. Karena itu, kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan hingga kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.
Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. (Mufrodi, 1997: 65)
Ketiga, desakan Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H. Dalam pertempuran yang memakan waktu berhari-hari ini, menurut catatan al-Thabari (V/48), sebenarnya pihak Muawiyah sudah terdesak dan merasa khawatir akan kalah. Pada saat inilah timbul gagasan dari ‘Amr bin al-‘Ash untuk menghentikan perang sementara dengan cara mengangkat mushaf al-Quran. Gagasan ini disambut baik oleh Muawiyah. Peristiwa ini kemudian berlanjut pada terjadinya perundingan damai melalui proses tahkim.
Pihak Muawiyah bersama penduduk Syam sepakat menunjuk ‘Amr bin al-‘Ash sebagai wakil bagi perundingan tersebut. Sedangkan pihak Ali bin Abu Thalib, atas usulan dari al-Asy’as, Zaid bin Hushain at-Thai, dan Mis’ar bin Fadaki, diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Sebenarnya Ali sendiri tidak menyetujui usulan dari tiga orang tersebut karena ia memandang Abu Musa lemah dalam diplomasi. Ali lebih setuju menunjuk al-Asytar. Akan tetapi ketiga orang ini, dengan mengajukan usulan ini ke pasukan Ali, tetap memaksakan Abu Musa dan tidak menerima yang lain. Ali pun akhirnya berkata kepada mereka, “Sungguh kalian menolak selain Abu Musa?!”. “Ya,” jawab mereka. Kata Ali, “Kalau begitu, lakukanlah apa yang kalian kehendaki!”. (Al-Thabari, 5/51)
Setelah kedua belah pihak menyepakati wakilnya masing-masing, mereka pun menulis surat kesepakatan yang dihadiri oleh para saksi dari kedua belah pihak. Inti dari kesepakatan yang dibuat pada bulan Shafar tahun 37 H ini adalah gencatan senjata dan akan bertemu kembali dalam sebuah perundingan pada bulan Ramadhan di Dumatul Jandal wilayah Adzruh.
Pasukan ini kemudian berpencar. Muawiyah kembali ke Syam, sedangkan Ali kembali ke Kufah. Namun sebagian dari pasukan Ali akhirnya ada yang tidak menyetujui proses tahkim ini walaupun sebelumnya mereka sangat bersemangat dan mendesak Ali untuk melakukan tahkim tersebut. Mereka pun keluar dari barisan Ali dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Mereka membuat basis pasukan di Harura yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahab.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada bulan Ramadhan , kedua belah pihak bertemu lagi di Dumatul Jandal disertai pasukannya masing-masing sebanyak 400 orang. Dalam pertemuan ini, ‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari berunding untuk menentukan khalifah. ‘Amr mengajukan Muawiyah, tetapi ditolak oleh Abu Musa. Kemudian ia menawarkan anaknya, Abu Musa pun menolaknya. Lalu Abu Musa mengajukan Abdullah bin Umar, tetapi ‘Amr menolaknya. Akhirnya Abu Musa mengusulkan agar Muawiyah dan Ali dilepas jabatannya terlebih dahulu dan penyelesaian akan diserahkan kepada musyawarah umat secara umum. ‘Amr bin al-‘Ash menyetujuinya.
Setelah bersepakat, keduanya menghadap kepada dua pasukan ini. Lalu ‘Amr meminta Abu Musa untuk menyampaikan kesepakatan itu lebih dulu dengan alasan ia lebih senior. Pada saat ini, Binu Abbas sudah merasa ada unsur tipu muslihat dari pihak ‘Amr. Dia pun menyarankan kepada Abu Musa agar ‘Amr yang lebih dulu menyampaikan kesepakatan keduanya. Tetapi Abu Musa tidak menghiraukan saran Binu Abbas.
Setelah Abu Musa menyampaikan isi kesepakatan itu, ‘Amr bin al-‘Ash tampil dan menyampaikan pidatonya. Ia mengatakan, “Sesungguhnya masalah ini, sebagaimana kalian dengar darinya tadi, dan ia telah melepas jabatan sahabatnya. Aku pun melepas jabatan sahabatnya sebagaimana ia melakukannya. Dan sekarang, aku menetapkan sahabatku, Muawiyah, karena dia termasuk walinya Usman bin Affan dan yang menuntut hukuman bagi pembunuh Usman, serta ia termasuk orang yang lebih berhak menduduki jabatan ini”. Mendengar pidato ini, Abu Musa pun marah. Lalu keduanya saling mencaci maki. Syuraih bin Hani, dari pihak Ali, mengangkat cemetinya dan mencambuk ‘Amr bin al-‘Ash. Putra ‘Amr membalasnya. Kemudian orang-orang berdiri dan memisahkannya, lalu mereka pun berpencar dengan membawa keputusan yang merugikan sebelah pihak ini.
Menurut catatan Ibnu Katsir (1988:7/314), pada saat kejadian ini ‘Amr memandang bahwa meninggalkan manusia tanpa imam, sedangkan kondisi umat seperti ini (chaos) akan membawa pada mafsadat yang berkepanjangan dan memperuncing perselisihan di antara mereka. Maka ia pun menetapkan Muawiyah demi kemaslahatan umat. Tetapi ini adalah ijtihad, sementara ijtihad itu bisa jadi benar atau bisa juga salah. Wallahu a’lam.
Keempat , seusai proses tahkim, lama kelamaan pasukan Ali terus berkurang dan melemah. Kelompok Khawarij yang berjumlah sekitar 12.000 orang turut serta merepotkan Ali. Wilayah kekuasaannya pun terus digerogoti oleh pasukan Muawiyah. Sementara kekuatan Muawiyah semakin kokoh. Dia mendapat dukungan yang kuat dari rakyat Syam dan keluarga Bani Umayah.
Kelompok Khawarij, walaupun Ali sudah beberapa kali mencoba untuk membujuk mereka agar bertobat dan kembali kepada barisan Ali, terus menerus menyimpan kekesalannya. Hingga akhirnya, mereka bersepakat untuk membunuh tiga orang yang langsung terlibat dalam proses tahkim; Ali, Muawiyah, dan ‘Amr bin al-‘Ash. Tetapi usaha pembunuhan itu hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan ‘Amr bin al-‘Ash selamat. Pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (660 M), Ali ditikam oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Binu Muljam dan meninggal dunia pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.
Pada tahun ini, warga Kufah membaiat al-Hasan untuk menggantikan posisi ayahnya. Al-Hasan pun menerima baiat dari mereka. Tetapi tidak lama kemudian, dengan kegamangan hati mereka, mereka pun tidak sanggup menghadapi pasukan Muawiyah. Akhirnya al-Hasan mengajukan posisinya kepada Muawiyah melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am al-jama’ah). (Yatim, 1993: 40)
Kelima, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”. Sifat hilm, menurut Eaton (2005: 252), adalah sifat kasih sayang terhadap musuh dan kesiapan untuk menerima perbedaan. Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi. (Mufrodi, 1997: 71)
Selain itu, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amr bin al-‘Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu ini dengan Muawiyah merupakan empat politikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. (Watt, 1990: 19)
‘Amr bin al-‘Ash dikenang sebagai penakluk Mesir pada masa Umar bin al-Khattab dan menjabat gubernur pertama di wilayah itu. Sejak wafatnya Khalifah Usman, ‘Amr mendukung Muawiyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim karena kecerdikannya dalam diplomasi. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi kekhalifahan Muawiyah. Sedangkan Mughirah adalah seorang politikus independent. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah Persia bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintahan Umar. Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesannya menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Adapun Ziyad bin Abihi merupakan pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Muawiyah untuk memangku kursi gubernur di Basrah dengan tugas khusus di Persia Selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyah langgeng di wilayah propinsi paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan dukar diatur. (Mufrodi, 1997: 71)
2. Sistem Pemerintahan
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. (Binu Taimiyah, 1951: 42)
Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Muawiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Muawiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regenerasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Muawiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut. (Suhaidi, deemuhammad)
Tradisi bentuk khilafah konfederasi yang dicanangkan oleh Rasulullah pada tahun 622 M (awal periode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasulullah menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabung beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan program futuhat (ekspansi). Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berada dalam kekuasaannya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Konsekuensinya, para amir berfungsi sebagai khalifah di daerah. Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah tersebut dalam menopang jalannya pemerintahan, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun penghasilan daerah ditangani oleh pejabat tertentu (sahib al-kharaj) yang mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.
Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul Mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya masyarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayah telah berubah fungsi, kecuali ketika pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa ini pajak negara dialihkan menjadi harta pribadi para khalifah. Pendapatan pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor tambahan hasil bumi, hadiah festival, dan upeti anak dari bangsa barbar. (Manshur, Humaniora: VI)
3. Para Khalifah dan Pertumbuhan Kekuasaan
Dinasti Umayah sebenarnya terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Bani Umayah I dari tahun 41 – 132 H dan periode Bani Umayah II yang dimulai pada tahun 138 H. Bani Umayah I dimulai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Sedangkan Bani Umayah II di Andalusia dimulai oleh Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan yang dikenal dengan gelar ad-Dakhil dan diakhiri oleh Hisyam bin Muhammad bin Abdul Malik yang dikenal dengan gelar al-Mu’tamad.
Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula yang tidak patut dan lemah.
Adapun urutan-urutan khalifah Umayah I adalah sebagai berikut.
1. Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-60H/661-680M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64H/680-683M)
3. Muawiyah II bin Yazid (64H/683-683M)
4. Marwan bin Hakam (64H/684M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86H/685-705M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-96H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743M)
11. Al-Walid II bin Yazid (125-126H/743-744M)
12. Ibrahim bin al-Walid(126-127H/744M)
13. Marwan II bin Muhammad (127-132H/744-750M)
Peralihan kekuasaan awal dari Muawiyah kepada putranya Yazid bin Muawiyah mengundang masalah dari beberapa pihak. Mengenai awal mula pengangkatan Yazid ada dua riwayat yang menerangkannya. Pertama, riwayat Hasan al-Bashri menyatakan, saat Mughirah bin Syu’bah menjadi gubernur di Kufah, Muawiyah menulis surat kepadanya: “Jika kamu selesai membaca surat ini, menghadaplah kepada saya, kamu akan saya pecat”. Al-Mughirah tidak segera menghadap Muawiyah. Maka tatkala ia menghadap, Muawiyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu datang terlambat?” Al-Mughirah berkata, “Saya membereskan satu perkara yang telah saya persiapkan sejak lalu”. Muawiyah berkata, “Perkara apakah yang kamu maksud?” Al-Mughirah menyambung, “Saya membereskan baiat orang-orang Kufah untuk Yazid”. “Apakah telah kamu lakukan itu?” tanya Muawiyah. “Ya!” kata al-Mughirah. Muawiyah berkata, “Jika itu penyebabnya, maka kembalilah, saya kembalikan kamu kepada kedudukanmu”. Kedua, riwayat Binu Sirin menegaskan bahwa ketika ‘Amr bin Hazm datang menemui Muawiyah, dia berkata, “Saya ingatkan kepadamu tentang umat Muhammad, siapa yang akan kau jadikan sebagai penggantimu sebagai khalifah?” Muawiyah berkata, “Kau telah menasihatiku dan kau telah mengatakan pendapatmu. Sesungguhnya tidak ada lagi kecuali anakku dan anak-anak mereka. Namun anakku jauh lebih berhak untuk memangku khilafah”. (Al-Suyuthi, 2001: 243-244)
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayah dimulai oleh Husein bin Ali yang berakhir dengan syahidnya Husein di Karbala.
Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Muawiyah II bin Yazid. Namun, Muawiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena tidak bisa menghadapi pergolakan politik yang terjadi. Suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah kekhalifahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, tepatnya ketika gerakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubeir berhasil ditumpas.
Kejayaan Bani Umayah semakin menonjol setelah dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul Malik, yaitu tahun 705-715 M. Pada masanya, Bani Umayah mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam sampai ke India, Afrika Utara, hingga Maroko, dan Andalusia. Pada masa ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:
a. Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia Kecil meliputi Ibukota Konstantinopel serta perluasan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
b. Wilayah Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan menyeberangi selat Jabal Thariq (Selat Gibraltar).
c. Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun (Amru Daria).
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) hubungan pemerintah dengan golongan oposisi mulai membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, beliau menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak lebih ringan dan kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan Bani Umayah berada di bawah khalifah Yazid bin Abdul Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam bin Abdul Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayah, melarikan diri ke Mesir. Ia ditangkap dan dibunuh di sana.
4. Kemunduran Bani Umayah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayah menjadi lemah, yaitu sebagai berikut.
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayah.
4. Lemahnya pemerintahan Bani Umayah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Bani Umayah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abdul Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas-duakan oleh pemerintahan Bani Umayah.
6. Kaum Mawali yang tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan turut menggerogoti kepemimpinan Bani Umayah.
7. Sikap antipati ulama terhadap kehidupan mewah keluarga kerajaan.
B. Perkembangan Peradaban Masa Bani Umayah
Pada masa pemerintahan Muawiyah, konsolidasi internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri, antisipasi atas setiap gerakan pemberontak, dan untuk memperlancar program futuhat. Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan, yakni: Diwan al-Jund (Urusan Kemiliteran), Diwan ar-Rasail (Urusan Administrasi dan Surat), Diwan al-Barid (Urusan Pos), Diwan al-Kharaj (Urusan Keuangan), dan Diwan al-Khatam (Urusan Dokumentasi). (El-Hermawan)
Dari segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada di bawah kekuasan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayah didata dalam sebuah organisasi yang cukup besar. Satu divisi terdiri dari 5 corp, dua corp untuk barisan depan, satu corp untuk barisan tengah, dan dua corp lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Marwan bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan mengenalkan susunan tentara yang disebut kurdus. Para tentara dilengkapi dengan senjata canggih pada masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan roket.
Dari berbagai periode pemerintahan Dinasti Umayah, penaklukan merupakan program utama pemerintah yang sudah mentradisi, kecuali pada periode Umar bin Abdul Aziz. Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Penaklukan tersebut erat kaitannya dengan kondisi angkatan darat dan laut yang tangguh dan sistem administrasi yang mapan, rapi, dan komplit.
Konsekuensinya, segala kebijakan pemerintah menentukan berhasil tidaknya penaklukan. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Semasa Bani Umayah berkuasa, banyak institusi politik dibentuk, misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang politik. Dalam tatanan ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan senjata-senjata perang yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat maupun laut, sistem pertanian maupun pengairan. (Thohir, tt: 37)
Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Lambang negara yang sebelumnya tidak pernah dibuat oleh Al-Khulafaur Rasyidin, mulai dibuat pada masa ini. Ia menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya, yang menjadi ciri khas kerajaan Umayah.
Khalifah Adul Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Ia juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilan Khalifah Abdul Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Selain melakukan perbaikan di berbagai bidang seperti yang telah disebutkan di atas, dinasti Umayah juga melakukan perubahan dalam beberapa bidang sebagai berikut.
a. Bidang Sosial
Pada masa dinasti ini, stratifikasi sosial mulai dikenal. Rakyat imperium Arab terbagi kedalam empat golongan. Golongan pertama merupakan golongan yang terdiri atas kaum muslimin yang memegang kekuasaan dan dikepali oleh anggota istana serta kaum ningrat dari penakluk arab. Golongan kedua merupakan golongan neomuslim, baik dengan atas kemauan sendiri maupun paksaan. Golongan ketiga merupakan kaum non muslim yang mengikat perjanjian dengan kaum muslim. Golongan keempat merupakan golongan budak yang merupakan golongan terendah.
Meskipun sistem pemerintahan tidak berjalan demokratis, namun kondisi sosial pada masa dinasti Umayah tetap damai dan adil. Kebebasan memeluk agama pun dijamin. Di antara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan dan menata administrasi yang bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
1. Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha negara.
2. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
3. Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
4. Perlengkapan perang. (Fauzi, imronfauzi.wordpress.com)
Di samping usaha tersebut daulah Bani Umayah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua hakim (Qadli). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. selain itu, kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik.
b. Bidang Pendidikan
Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Para Khulafa agaknya kurang memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal. Meskipun demikian, dalam bidang ini, dinasti Umayah memberikan andil yang cukup signifikan bagi perkembangan budaya Arab pada masa sesudahnya, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, sastra, dan filsafat.
Bila dibandingkan dengan masa Khulafa Ar-Rasyidin, pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayah telah mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan tersebut. Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam, di mana kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode pengajarannya pun tidak sama sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam berbagai bidang tertentu.
Tempat-tempat yang telah disediakan demi perkembangan pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayah ada tiga yaitu: Kuttab, Mesjid, dan Majelis Sastra. Kuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. (Yunus, 1981: 39)
Setelah pelajaran anak-anak di kuttab selesai mereka melanjutkan pendidikan yang dilakukan di mesjid. Pada Dinasti Umayah ini, pendidikan yang dilaksanakan di mesjid terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang ilmunya mendalam dan masyhur kealiman serta keahliannya. Sedangkan majelis sastra merupakan balai pertemuan untuk membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik yang disiapkan oleh khalifah yang dihiasi dengan hiasan yang indah dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.
c. Bidang Seni
Pada masa Daulah Bani Umayah ini bidang seni juga mengalami perkembangan, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (arsitektur). Dalam bidang arsitektur, peran khalifah sangat menonjol. Merka sangat menyokong perkembangan seni ini seperti menara yang diperkenalkan oleh Muawiyah. Kubah as-Sakhra di Yerussalem yang dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691, merupakan salah satu contoh hasil karya arsitek muslim zaman permulaan yang paling cantik. Bangunan ini merupakan masjid yang pertama kali ditutup dengan kubah. Pada sekitar abad VII Walid bin Abdul Malik membangun masjid agung di Syiria berdasarkan nama-nama penguasa Dinasti Umayah. Dengan demikian, perkembangan arsitektur mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.
d. Ilmu Pengetahuan
Pada masa dinasti ini, tepatnya pada paruh terakhir dinasti Umayyah, cabang-cabang ilmu baru yang sebelumnya belum pernah diajarkan dalam dunia Islam mulai diajarkan seperti tata bahasa, sejarah, geografi dan lain-lain. Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadis, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ;
2. Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal. (Suhaidi, http://deemuhammad.blogspot.com )
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Ia merupakan seorang orator dan penyair yang berpikiran tajam. Ia pula orang yang pertama kali menerjemahkan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam Bahasa Arab, seperti astronomi, kedokteran dan kimia. Bahkan ia memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang kimia dan kedokteran serta mengarang beberapa buku dalam bidang tersebut. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia. Di bawah pemerintahannya karya Yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Pada masa ini pula ilmu tafsir dan tafsir al-qur’an mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekuensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al-Quran dan makna Al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran Al-Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat. Karena tuntutan untuk mempelajari dan menafsirkan al-Qur'an itulah, dua jenis ilmu pengetahuan yakni filologi dan leksikografi mendapatkan perhatian oleh banyak orang. (Manshur, Humaniora: VI)
Selain ilmu tafsir, ilmu hadis juga mendapatkan perhatian serius. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar bin Amir dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis-hadis, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar bin Abdul Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari hadis ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode Rihlah. Pada masa dinasti inilah, kitab tentang ilmu hadis sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadis yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky), Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Di bidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran ahli hadis, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al-Quran dan hadis yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Melalui periode ini lahirlah sejumlah mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir masa Umayah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik bin Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah. (Chalil, 1989: 23)
PENYEBARAN ISLAM SETELAH KHULAFAUR RASYIDIN (BANI UMAYYAH)
Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Kelompok pendukung Ali mengangkat Hasan bin Ali untuk menjadi khalifah. Kelompok pendukung Mu’awiyah mengangkat Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Sebagai khalifah Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah sehingga kekhalifahan dipegang oleh Bani Umayyah dengan nantinya setelah Mu’awiyah meninggal, pemerintahan akan dikembalikan kepada umat islam. Akan tetapi, perjanjian ini tidak pernah diwujudkan dan dengan diangkatnya Mu’awiyah sebagai khalifah, berdirilah Kerajaan Bani Umayyah. Pendiri Kerajaan Umayyah adalah Mu’awiyah bin abu Sufyan.
Nama Umayyah merupakan nama kakek kedua dari Mu’awiyah yang bernama Umayyah bin Abdus Syam. Pergantian kepemimpinan Kerajaan Umayyah berdasarkan keturunan. Hal ini berbeda dengan zaman Khulafaur Rasyidin yang dipilih langsung rakyat.
Perjalanan Kerajaan Umayyah
Daulah Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama dua periode, di Suriah hampir satu abad, yaitu sejak 30-132 H atau 660-750 M dan di Spanyol selama 275 tahun, yaitu 756-1031 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa Daulah Umayyah telah memasuki benua Eropa bahkan telah mencapai wilayah Byzantium.
Pada masa pemerintahan Mu’awiyah dilakukan berbagai perubahan dalam pemerintahan. Mengingat berbagai pengamalannya yang pernah menjadi Gubernur di Syam, Mu’awiyah melakukan perubahan pemerintahan, yaitu membentuk jawatan perhubungan (jawatan pos) dan jawatan pendaftaran. Mu’awiyah menduduki jabatan sebagai Khalifah selama hampir 20 tahun.
Para Khalifah pada masa Bani Umayyah, antara lain:
a. Mu’awiyah bin Abu Sufyan
b. Yazid bin Mu’awiyah
c. Mu’awiyah binYazid
d. Marwan bin Hakam
e. Abdul Malik bin Marwan
f. AL-Walid bin Abdul Malik
g. Sulaiman bin Abdul Malik
h. Umar bin Abdul Azis
i. Yazid bin Abdul Malik
j. Hisyam bin Abdul Malik
Sepeninggal Mu’awiyah, pemerintahan dipegang oleh Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa pemerintahannya, prinsip musyawarah yang telah dicanangkan oleh Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin mulai bergeser ke bentuk monarki absolut.
Artinya, pemimpin merupakan raja yang diangkat secara turun-temurun. Akan tetapi, raja-rajanya masih menggunakan gelar khalifah. pemerintahan Yazid diwarnai oleh berbagai pergolakan politik. Hal ini semakin memuncak setelah terbunuhnya cucu Rasulullah SAW, yaitu Husain bin Ali.
Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Mu’awiyah II. Namun, Mu’awiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam. Akan tetapi, Marwan hanya memerintah selama 9 bulan dan mengundurkan diri karena tidak bisa menghadapi pergolakan politik yang terjadi, sampai akhirnya suasana kerajaan bisa dipulihkan setelah Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah.
Masa kejayaan Bani Umayyah dimulai ketika Abdul Malik bin Marwan memerintah 66-86 H Atau 685-705 M. Berbagai kemajuan dilakukan Abdul Malik , diantaranya:
a. Menetapkan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
b. Mendirikan Balai kesehatan untuk rakyat.
c. Mendirikan Masjid di Damaskus.
Kejayaan Kerajaan Umayyah semakin menonjol setelah diperintahkan Al-Walid bin AbdulMalik, yaitu tahun 86-96 H atau 705-715 M. Pada masanya, kerajaan Umayyah mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam sampai ke India, Afrika Utara, hingga Maroko, dan Andalusia. Pada masa ini perluasan wilayah Islam meliputi sebagai berikut:
a. Wilayah kekuasaan Kerajaan Romawi di Asia Kecil meliputi Ibukota Konstantinopel serta perluasan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
b. Wilayah Afrika Utara sampai ke pantai Atlantik dan menyeberangi selat Jabal tarik (Selat Gibraltar).
c. Wilayah Timur, Bagian Utara di seberang sungai Jihun (Amru Daria).
Ketika kekuasaan Islam berada di tangan kerajaan Bani Umayyah, seni bangunan, misalnya bangunan Qubatus Sarkah di Yerussalem dan bangunan Masjid Nabawiyah di Madinah dapat mencapai ketinggian melampaui batas seni bangun Gothik di Eropa. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan pun tidak ketinggalan. Misalnya, bidang–bidang kedokteran, filsafat, kimia, astronomi, dan ilmu ukur berkembang dengan sangat pesat.
Keruntuhan Kerajaan Umayyah
Masa kejayaan Bani Umayyah mulai menurun. Ada beberapa kelemahan yang menjadi suramnya kekuasaan Bani Umayyah, di antaranya:
a. Mulai hilangnya persatuan Islam yang dibina sejak zaman Rasulullah.
b. Orang mulai mementingkan dunia dan mengabaikan urusan agama
c. Menghilangnya demokrasi Islam dan mulainya penggunaan Monarki absolut
d. Adanya pemberontakan dari Kaum Hawarij, Syiah dan Bani Abbas.
Khalifah terakhir dari Bani Umayyah bernama Marwan bin Muhammad. Ia tidak mampu lagi menghadapi gerakan perlawanan dari Bani Abbas. Pada 5 Agustus 750 M, Marwan bin Muhammad terbunuh oleh Shalih Bin Ali.
Penyebaran Islam pada kekhalifahan Bani Umayyah meliputi wilayah Asia Kecil, yaitu kerajaan Romawi (Konstantinopel), Asia Utara sampai ke wilayah Spanyol, dan Selat Jabal Tarik, hingga mencapai Asia Tengah sampai perbatasan Tiongkok (China).
Hal penting yang dicapai pada masa Bani Umayyah, yaitu:
a. Menetapkan Bahasa Arab sebagai Bahasa resmi;
b. Mendirikan masjid Agung di Damaskus;
c. Membuat mata uang bertuliskan kalimat syahadat;
d. Mendirikan rumah sakit di berbagai wilayah;
e. Menyempurnakan peraturan pemerintah;
f. Melakukan pembukuan Hadits Nabi
Pada masa Daulah Bani Umayyah perkembangan kebudayaan mengalami kemajuan dan juga bidang seni, terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (Arsitektur).
1. Seni Bahasa
Kemajuan seni bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan bahasa. Sedangkan kemajuan bahasa mengikuti kemajuan bangsa. Pada masa Daulah Bani Umayyah kaum muslimin sudah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinya kosakata bahasa menjadi bertambah dengan kata-kata dan istilah –istilah baru yang tidak terdapat pada zaman sebelumnya.
Kota Basrah dan Kufah pada zaman itu merupakan pusat perkembangan ilmu dan sastra (adab). Di kedua kota itu orang-orang Arab muslim bertukar pikiran dalam diskusi-diskusi ilmiah dengan orang-orang dari bangsa yang telah mengalami kemajuan terlebih dahulu. Di kota itu pula banyak kaum muslimin yang aktif menyusun dan menuangkan karya mereka dalam berbagai bidang ilmu. Maka dengan demikian berkembanglah ilmu tata bahasa (Ilmu Nahwu dan sharaf) dan Ilmu Balaghah, serta banyak pula lahir-lahir penyair-penyair terkenal.
2. Seni Rupa
Seni rupa yang berkembang pada zaman Daulah Bani Umayyah hanyalah seni ukir, seni pahat, sama halnya dengan zaman permulaan, seni ukir yang berkembang pesat pada zaman itu ialah penggunaan khat arab (kaligrafi) sebagai motif ukiran.
Yang terkenal dan maju ialah seni ukir di dinding tembok. Banyak Al-Qur’an, Hadits Nabi dan rangkuman syair yang di pahat dan diukir pada tembok dinding bangunan masjid, istana dan gedung-gedung.
3. Seni Suara
Perkembangan seni suara pada zaman pemerintahan Daulat Bani Umayyah yang terpenting ialah Qira’atul Qur’an, Qasidah, Musik dan lagu-lagu lainnya yang bertema cinta kasih.
4. Seni Bangunan (Arsitektur)
Seni bangunan atau Arsitektur pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah pada umumnya masih berpusat pada seni bangunan sipil, seperti bangunan kota Damaskus, kota Kairuwan, kota Al- Zahra. Adapun seni bangunan agama antara lain bangunan Masjid Damaskus dan Masjid Kairuwan, begitu juga seni bangunan yang terdapat pada benteng- benteng pertahanan masa itu.
Adapun kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, berkembangnya dilakukan dengan jalan memberikan dorongan atau motivasi dari para khalifah. Para khalifah selaku memberikan hadiah-hadiah cukup besar bagi para ulama, ilmuwan serta para seniman yang berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan di sediakan anggaran oleh negara, itulah sebabnya ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya.
Pusat penyebaran ilmu pengetahuan pada masa itu terdapat di masjid-masjid. Di masjid-masjid itulah terdapat kelompok belajar dengan masing-masing gurunya yang mengajar ilmu pengetahuan agama dan umum ilmu pengetahuan agama yang berkembang pada saat itu antara lain ialah, ilmu Qira’at, Tafsir, Hadits Fiqih, Nahwu, Balaqhah dan lain-lain. Ilmu tafsir pada masa itu belum mengalami perkembangan pesat sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Tafsir berkembang dari lisan ke lisan sampai akhirnya tertulis. Ahli tafsir yang pertama pada masa itu ialah Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi yang sekaligus juga paman Nabi yang terkenal.
Untuk perkembangan ilmu Hadits sendiri terjadi setelah ditemukan banyak penyimpangan dan penyelewengan dalam meriwayatkan hadits atau setelah diketahui banyaknya hadits-hadits palsu yang dibuat oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik.
Karena itulah dirasakan adanya keperluan untuk menyusun buku hadits. Di antara para ahli Hadits (Muhaddits) yang terkenal masa itu ialah Muhammad bin Syihab A-Zuhri, beliau pula yang mula-mula menyusun ilmu hadits dan mula-mula membukukan perkataan, perbuatan, ketepatan ataupun sifat-sifat Nabi SAW yang disebut dengan hadits itu.
Pada tahun132 H/750 M, keturunan bani Umayyah ditumpas habis dan menandai berkahirnya dinasti tersebut. Hanya Abdurrahman, satu-satunya keturunan bani Umayah yang berhasil melarikan diri ke Andalusia dan mendirikan dinasti Umayyah II di daratan Eropa tersebut. Sejalan dengan pesatnya perkembangan Islam di Asia dan Afrika, Islam juga menyebar ke Eropa. Yaitu melalui tiga jalan sebagai berikut.
1. Jalan barat, yakni dilakukan dari Afrika Utara melalui Semenanjung Iberia di bawah pimpinan thariq bin ziyad (711 M). Bahkan, tentara Islam dapat melewati Pegunungan Pirenia yang akhirnya ditahan oleh tentara perancis di bawah pimpinan karel martel di kota poitiers (732 M). Akhirnya, pemerintahan Khilafah Umayyah memipmpin di semenanjung Iberia yang dikenal dengan bani Umayah II (711 M-1492 M) dengan ibukotanya Cordoba.
2. Jalan tengah, yakni dilakukan dari Tunisia melalui Sisilia menuju sepenanjung Apenina. Islam dapat menduduki Sisilia dan Italia selatan, tetapi dapat direbut kembali oelh bangsa Nordia pada abad ke-11
3. Jalan timur, dimana pada tahun 1453, turki dibawah pimpinan Sultan Muhammad II berhasil menaklukkan Byzantium dengan terlebih dahulu menyerang Konstantinopel dari arah belakang yakni laut hitam sehingga mengejutkan tentara byzantium timur. Dari Byzantium, tentara turki usmani terus melakukan perlawanan sampai ke kota Wina di Austria. Setelah itu, tentara Turki Usmani mundur kembali ke Semenanjung Balkan dan menguasai daerah ini selama kurang lebih empat abad. Baru pada abad ke-19, daerah ini berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Islam. Akan tetapi, kota konstantinopel masih tetap dikuasai dinasty Umayyah dan berubah menjadi Istanbul
A. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Sesungguhnya Eropa banyak berhutang budi pada Islam karena banyak sekali peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa, seperti dari spanyol, perang salib dan sisilia. Spanyol sendiri merupakan tempat yang paling utam bagi Eropa dalam menyerap ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, baik dalam bentuk politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Beberpa perkembangan Islam antara lain sebagai berikut.
- Bidang politik
Terjadi balance of power karena di bagian barat terjadi permusuhan antara bani Umayyah II di Andalusia dengan kekaisaran karoling di Perancis, sedangkan di bagian timur terjadi perseteruan antara bani Abbasyah dengan kekaisaran Byzantium timur di semenanjung Balkan. Bani Abbasyah juga bermusuhan dengan Bani Umayyah II dalam perebutan kekuasaan pada tahun 750 M. Kekaisaran Karoling bermusuhan dengan kekaisaran Byzanium timur dalam memperebutkan Italia. Oleh karena itu terjadilah persekutuan antara Bani Abbasyah dengan kekaisaran Karoling, sddangkan bani Umayyah II bersekutu dengan Byzantium Timur. Persekutuan baru berakhir setelah terjadi perang salib (1096-1291)
- Bidang Sosial Ekonomi
Islam telah menguasai Andalusia pada tahun 711 M dan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Keadaan ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan Eropa. Islam berarti telah menguasai daerah timur tengah yang ketika itu menjadi jalur dagan dari Asia ke Eropa. Saat itu perdagangan ditentukan oleh negara-negara Islam. Hal ini menyebabkan mereka menemukan Asia dan Amerika
- Bidang Kebudayaan
Melalui bangsa Arab (Islam), Eropa dapat memahami ilmu pengetahuan kuno seperti dari Yunani dan Babilonia. Tokoh tokoh yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu antara lain sebagai berikut.
a. Al Farabi (780-863M)
Al Farabi mendapat gelar guru kedua (Aristoteles digelari guru pertama). Al Farabi mengarang buku, mengumpulkan dan menerjemahkan buku-buku karya aristoteles
b. Ibnu Rusyd (1120-1198)
Ibnu Rusyd memiliki peran yang sangat besar sekali pengaruhnya di Eropa sehingga menimbulkan gerakan Averoisme (di Eropa Ibnu Rusyd dipanggil Averoes) yang menuntut kebebasan berfikir. Berawal dari Averoisme inilah lahir roformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M di Eropa. Buku-buku karangan Ibnu Rusyd kini hanya ada salinannya dalam bahasa latin dan banyak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan Eropa dan Amerika. Karya beliau dikenal dengan Bidayatul Mujtahid dan Tahafutut Tahaful.
c. Ibnu Sina (980-1060 M)
Di Eropa, Ibnu Sina dikenal dengan nama Avicena. Beliau adalah seorang dokter di kota Hamazan Persia, penulis buku-buku kedokteran dan peneliti berbagai penyakit. Beliau juga seorang filsuf yang terkenal dengan idenya mengenai paham serba wujud atau wahdatul wujud. Ibnu Sina juga merupakan ahli fisika dan ilmu jiwa. Karyanya yang terkenal dan penting dalam dunia kedokteran yaitu Al Qanun fi At Tibb yang menjadi suatu rujukan ilmu kedokteran
4. Bidang Pendidikan
Banyak pemuda Eropa yang belajar di universitas-unniversitas Islam di Spanyol seprti Cordoba, Sevilla, Malaca, Granada dan Salamanca. Selama belajar di universitas-universitas tersebut, mereka aktif menterjemahkan buku-buku karya ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah mereka pulang ke negerinya, mereka mendirikan seklah dan universitas yang sama. Universitas yang pertama kali berada di Eropa ialah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1213 M dan pada akhir zaman pertengahan di Eropa baru berdiri 18 universitas. Pada universitas tersebut diajarkan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari universitas Islam seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan ilmu filsafat
Banyak gambaran berkembangnya Eropa pada saat berada dalam kekuasaan Islam, baik dalm bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi, kebudayaan, ekonomi maupun politik. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut.
- Seorang sarjana Eropa, petrus Alfonsi (1062 M) belajar ilmu kedokteran pada salah satu fakultas kedokteran di Spanyol dan ketika kembali ke negerinya Inggris ia diangkat menjadi dokter pribadi oleh Raja Henry I (1120 M). Selain menjadi dokter, ia bekerja sama dengan Walcher menyusun mata pelajaran ilmu falak berdasarkan pengetahuan sarjan dan ilmuwan muslim yang didapatnya dari spanyol. Demikin juga dengan Adelard of Bath (1079-1192 M) yang pernah belajar pula di Toledo dan setelah ia kembali ke Inggris, ia pun menjadi seorang sarjan yang termasyhur di negaranya
- Cordoba mempunyai perpustakaan yang berisi 400.000 buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
- Seorang pendeta kristen Roma dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292 M) mempelajari bahasa Arab di Paris (1240-1268 M). Melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa latin yang dimilikinya, ia dapat membaca nasakah asli dan menterjemahkannya ke dalam berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pasti. Buku-buku asli dan terjemahan tersebut dibawanya ke Universitas Oxford Inggris. Sayangnya, penerjemahan tersebut di akui sebagai karyanya tanpa menyebut pengarang aslinya. Diantara bukuyang diterjemahkan antara lain adalah Al Manzir karya Ali Al Hasan Ibnu Haitam (965-1038 M). Dalam buku itu terdapat teori tentang mikroskop dan mesiu yang banyak dikatakan sebagai hasil karya Roger Bacon.
- Seorang sarjana berkebangsaan Perancis bernama Gerbert d’Aurignac (940-1003 M) dan pengikutnya, Gerard de Cremona (1114-1187 M) yang lahir di Cremona, Lombardea, Italia Utara, pernah tinggal di Toledo, Spanyol. Dengan bantuan sarjana muslim disana , ia berhasil menerjemahkan lebih kurang 92 buah buku ilmiah Islam ke dalam bahasa latin. Di antara karya tersebut adalah Al Amar karya Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ar Razi (866-926 M) dan sebuah buku kedokteran karangan Qodim Az Zahrawi serta buku Abu Muhammad Al baitar berisi tentang tumbuhan. Sarjana-sarjana muslim tersebut mengajarkan penduduk non muslim tanpa membeda-bedakan agama yang mereka anut
- Apabila kerajaan-kerajaan non muslim mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam, maka yang terjadi adalah pembumihangusan kebudayaan Islam dan pembantaian kaum muslim. Akan tetapi, apabila kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai kerajaan non muslim, maka penduduk negeri tersebut diperlakukan dengan baik. Agama dan kebudayaan merekapun tidak terganggu
- Banyak sarjana-sarjana muslim yang berjasa karena telah meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa meskipun ironisnya diakui sebagai karya mereka sendiri.
Akibat atau pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan Islam ini menimbulkan kajian filsafat Yunani di Eropa secara besar-besaran dan akhirnya menimbulkan gerakan kebangkitan atau renaissans pada abad ke-14. berkembangnya pemikiran yunani ini melalui karya-karya terjemahan berbahasa arab yang kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Disamping itu, Islam juga membidani gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan aufklarung atau pencerahan pada abad ke-18 M.
Nasib kaum muslim di Spanyol sepeninggal Abu Abdullah Muhammad dihadapakan pada beberapa pilihan antara lain masuk ke dalam kristen atau meninggalkan spanyol. Bangunan-bangunan bersejarah yang dibangun oleh Islam diruntuhkan dan ribuan muslim mati terbunuh secara tragis. Pada tahun 1609 M, Philip III mengeluarkan undang-undang yang berisi pengusiran muslim secara pakasa dari spanyol. Dengan demikian, lenyaplah Islam dari bumi Andalusia, khusunya Cordoba yang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di barat sehingga hanya menjadi kenangan.
B. Hikmah Sejarah Perkembangan Islam pada Abad Pertengahan
Ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil dari sejarah perkembangan Islam pada abad pertengahan, diantaranya sebagai berikut.
- Meskipun Bani Umayyah telah dihancurkan oleh Bani Abbasyah, perluasan wilayah Islam masih terus dilanjutkan sehingga dengan demikian kebudayaan Islam tetap berkembang di Eropa. Hal tersebut menandakan bahwa semangat kaum muslim dalam meraih cita-cita sangat tinggi sehingga melahirkan persatuan dan kesatuan yang sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal tersebut. Hal ini terbukti dalam setiap perluasan wilayah, kaum muslim mampu menguasai Spanyol dalam waktu sekitar delapan abad (711-1492 M) dan menguasai Semenanjung Balkan sekitar 4 abad (1453-1918 M)
- Niat yang tulus ketika melakukan sesuatu karena Allah sangat dibutuhkan, ketika niat telah berubah menjadi orientasi terhadap kekuasaan atau harta, maka dengan cepat kehancuran akan menimpa. Hal tersebut telah banyak dibuktikan pada peristiwa-peristiwa runtuhnya daulah bani Umayyah, bani Abbasyah, dan bani Umayyah II di Andalusia serta kerajaan atau pemerintahan lain dimanapun berada
- Penaklukan wilayah yang demikian luas dilakukan oleh kaum muslim saat itu berdasarkan pada permintaan penduduk suatu negara yang ditindas oleh pemimpin mereka sendiri. Hal tersebut dikarenakan penduduknya berada dibawah pemerintahan yang zalim atau karena kerajaan tersebut telah mengganggu wilayah-wilayah Islam. Oleh karena itu, kaum muslim telah bertindak sebagai pembebas masyarakat suatu negara dari tindakan pemerintah mereka yang sewenag-wenang dan bukan bertindak sebagai penjajah atas suatu negara. Penduduk yang dibebaskan tetap diberikan keleluasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan mereka masing-masing meskipun upaya penyebaran agama Islam senantiasa dilakukan.
- Islam memiliki kontribusi yang sangat besar dalam upaya menyebarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Eropa memiliki kemajuan saat ini salah satunya disebabkan jasa sarjana-sarjana muslim yang telah menjadi mata rantai perkembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat Eropa saat itu.
C. Penghayatan terhadap Sejarah Kebudayaan Islam pada Abad Pertengahan
Ada banyak perilaku yang pat diterapkan sebagai cerminan penghayatan terhadap sejarah perkembangan Islam di abad pertengahan yakni antara lain sebagai berikut.
- Sejarah merupakan pelajaran bagi manusia agar di kemudian hari perilaku atau perbuatan kaum muslim yang membuat kaum muslim dan umat manusia lainnya menderita tidqak terulang lagi. Lemahnya persatuan umat Islam dapat dijadikan celah pihak lain untuk memundurkan peran kaum muslim, baik dari kancah perekonomian maupun politik. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya mampu mengubah tata kehidupannya yang seimbang antara kepentingan duniawi dan ukhrawinya serta senantiasa meningkatkan wawasan keislamannya melalui rujukan Al Qur’an dan Hadis.
- Umat Islam harus mengambil pelajaran dari negara barat. Mereka semula jauh tertinggal dibandingkan dengan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan umat Islam, tetapi kemudian mereka dapat mengejar kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan umat Islam. Invasi Islam terhadap Eropa seperti andalusia dan Semenanjung Balkan selama berabad-abad telah memotifasi barat untuk mempelajari ilmu pengetahuan, tekhnologi dan kebudayaannya
- Keberadaan cendekiawan pada masa perkembangan Islam abad pertengahan seperti Ibnu Sina, Al Farabi, dan Ibnu Rusyd haurs menjadi inspirasi dan inovasi bagi uamt Islam untuk terus mempelajari berbagai disiplin ilmu demi melanjutkan cita-cita perjuangan tokoh-tokoh muslim pada abad pertengahan tersebut sehingga Islam mampu membawa rahmat bagi seluruh dunia.
D. Pengaruh Sejarah Islam Abad Pertengahan terhadap Umat Islam Indonesia
Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah memeluk agama hindu dan budha disamping kepercayaan nenek moyang mereka yang menganut animisme dan dinamisme. Setelah Islam masuk ke Indonesia, Islam berpengaruh besar baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi,maupun di bidang kebudayaan yang antara lain seperti di bawah ini.
- Pengaruh Bahasa dan Nama
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab. Bahasa Arab sudah banayk menyatu dalam kosa kata bahasa Indonesia, contohnya kata wajib, fardu, lahir, bathin, musyawarah, surat, kabar, koran, jual, kursi dan masker. Dalam hal nama juga banyak dipakai nama-nama yang berciri Islam (Arab) seperti Muhammad, Abdullah, Anwar, Ahmad, Abdul, Muthalib, Muhaimin, Junaidi, Aminah, Khadijah, Maimunah, Rahmillah, Rohani dan Rahma.
- Pengaruh Budaya, Adat Istiadat dan Seni
Kebiasaan yang banyak berkembang dari budaya Islam dapat berupa ucapan salam, acara tahlilan, syukuran, yasinan dan lain-lain. Dalam hal kesenian, banyak dijumpai seni musik seperti kasidah, rebana, marawis, barzanji dan shalawat. Kita juga melihat pengaruh di bidang seni arsitektur rumah peribadatan atau masjid di Indonesia yang banayak dipengaruhi oleh arsitektur masjid yang ada di wilayah Timur Tengah.
- Pengaruh dalam Bidang Politik
Pengaruh inin dapat dilihat dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan yang sering kita jumpai pada kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram. Demak, Banten dan Tidore
- Pengaruh di bidang ekonomi
Daerah-daerah pesisir sering dikunjungi para pedagang Islam dari Arab, Parsi,dan Gujarat yang menerapkan konsep jual beli secara Islam. Juga adanya kewajiban membayar zakat atau amal jariyah yang lainnya, seperti sedekah, infak, waqaf, menyantuni yatim, piatu, fakir dan miskin. Hal itu membuat perekonomian umat Islam semakin berkembang