PERANG JAMAL
Perang Jamal telah terjadi antara kholifah Ali bin Abi Tholib kw dan pengikutnya disatu pihak dengan Ummul Mukminin Aisyah, Tolhah dan Zubair Rodhiallohu Anhum serta pengikutnya dipihak lain.
Perang ini terjadi pada pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun tiga puluh enam Hijriyah. Pertempuran ini berjalan dari siang hari sampai sorenya, dan menelan korban sepuluh ribu Muslimin, bahkan dalam riwayat yang lain tiga belas ribu orang.
Adapun kronologi sampai terjadinya pertempuran tersebut sebagai berikut:
Setelah Tolhah ra dan Zubair ra membaiat Sayyidina Ali kw sebagai Kholifah, yang berkedudukan di Madinah, maka keduanya meminta ijin dari Kholifah untuk melaksanakan ibadah Umroh.
Kemudian ketika mereka berada di Mekah, keduanya menemui Ummul Mukminin Aisyah ra, yang saat itu sedang berada di Mekah setelah selesai melaksanakan ibadah Haji.
Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk meminta kepada Sayyidina Ali kw agar secepatnya mengambil Gishos terhadap pembunuh pembunuh Kholifah Usman Ibnu Affan ra.
Selang beberapa hari kemudian, mereka bertiga dan pengikut pengikutnya berangkat menuju kota Basrah.
Kholifah Ali bin Abi Tholib kw begitu mendengar keberangkatan serta tujuan mereka segera memutuskan untuk berangkat ke Kufah. Namun sebelumnya, beliau terlebih dahulu mengirin sahabat sahabatnya termasuk Sayyidina Hasan putranya dan Ammar bin Yasir, guna menggalang kekuatan dan dukungan bagi Kholifah.
Selanjutnya setelah beberapa hari, beliau baru menyusul menuju Kufah bersama pengikut pengikutnya.
Kedatangan Kholifah Ali kw dan rombongannya di Kufah juga didengar oleh Siti Aisyah ra, Tolhah ra dan Zubair ra.
Selanjutnya kedua belah pihak saling mengirim surat dan utusan untuk mengadakan perundingan dan membicarakan langkah apa yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak. Dan akhirnya mereka sepakat dan setuju untuk mengadakan Ishlah.
Untuk itu Kholifah Ali kw menunjuk Sahabat Al Go’gok Attamimi sebagai utusan mewakili Kholifah Ali kw, dalam berunding dengan Siti Aisyah ra, Tolhah ra dan Zubair ra.
Pada awalnya mereka berkata, bahwa mereka datang untuk Ishlah dan untuk meminta agar orang orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Kholifah Usman ra diadili atau dilakukan Gishos terhadap mereka. Sebab mereka ( Siti Aisyah ra cs) berkeyakinan, apabila tidak dilaksanakan Gishos, berarti mereka telah meninggalkan Nas yang tertera dalam Al Qur’an.
Kemudian Al Go’gok menjawab, bahwa semua yang mereka kehendaki tersebut bisa dilaksanakan, apabila suasananya sudah aman dan tenang. Karenanya agar semua kebaikan yang mereka kehendaki tercapai dan terlaksana, maka mereka harus membuat suasana menjadi baik, yaitu dengan langkah mereka membaiat Imam Ali kw sebagai Kholifah. Tapi apabila usulnya tersebut mereka tolak dan justru membesar besarkan masalah tersebut, maka keadaan akan semakin keruh dan tidak terkendali yang akibatnya justru menjauhkan apa apa yang mereka kehendaki.
Rupanya jawaban Al Go’gok tersebut membuat Siti Aisyah ra, Tolhah ra dan Zubair ra merasa senang dan puas dan mereka setuju untuk dilaksanakan. Kemudian mereka berkata; Kembalilah ke Ali dan sampaikan apa yang kamu sarankan. Apabila dia juga menerima saranmu tersebut, maka Ishlah ini akan terlaksana.
Selanjutnya ketika saran Al Go’gok tersebut disampaikan kepada Kholifah Ali kw, beliau setuju
Demikian hasil pertemuan antara fihak Kholifah Ali kw dengan fihak Siti Aisyah ra dan berita perdamaian tersebut disambut gembira oleh penduduk Kufah dan Basrah. Sehingga malamnya membuat penduduk kedua kota bisa tidur tenang.
Namun bagi orang orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Kholifah Usman ra, berita perdamaian tersebut sangat tidak menyenangkan bagi mereka. Sebab apabila perdamaian sampai terlaksana, maka lambat laun mereka pasti akan dikejar kejar dan diadili. Karenanya mereka sekuat tenaga berusaha menggagalkan perdamaian tersebut.
Berbagai usaha mereka lakukan dalam usaha mereka mengeruhkan keadaan, diantaranya pada malam hari disaat kelompok Siti Aisyah ra sedang tidur nyenyak, mereka menyusup ketempat kelompok Siti Aisyah ra, bahkan sengaja meninggalkan senjata. Dengan tujuan agar fihak Siti Aisyah ra mengira ada musuh yang masuk menyelinap dimalam hari. Bahkan ada yang meriwayatkan ada beberapa kemah yang dibakar.
Hal ini tentu saja membuat fihak Siti Aisyah ra curiga dan marah. Dan itulah yang membuat kesalah pahaman antara kedua belah fihak, sehingga keadaan tidak bisa terkendali dan terjadilah peperangan.
Peperangan ini dikenal dengan perang Jamal, karena saat pertempuran, Siti Aisyah ra memimpin peperangan dengan mengendarai unta atau Jamal.
Dalam peperangan ini Kholifah Ali kw berpesan kepada pengikutnya agar jangan sampai melukai Siti Aisyah ra dan beliau berkata bahwa Aisyah adalah istri Rosululloh di dunia dan akhirat.
Namun melihat pertempuran terus berjalan, sedang korban dari kedua belah pihak terus berjatuhan, maka Kholifah Ali kw memerintahkan agar unta yang dinaiki Siti Aisyah ra dihantam kakinya sampai roboh.
Ternyata strategi Imam Ali kw ini berhasil, sebab begitu unta yang dinaiki Siti Aisyah ra roboh, pengikutnya yang selalu mendampinginya berlarian ketakutan.
Akhirnya peperangan ini dimenangkan oleh kelompok kholifah Ali kw. Terbunuh dalam pertempuran ini Sayyidina Tolhah ra, sedang Sayyidina Zubair ra tidak ikut berperang, dia meninggalkan rombongannya dikarenakan dia teringat akan sabda Rosululloh SAW yang ditujukan kepadanya, bahwa dia (Zubair) akan berselisih dengan Ali, sedang dia difihak yang salah. Karenanya beliau segera meninggalkan medan pertempuran, menuju Wadi Suba’ kira kira lima mil dari Basrah.
Namun ternyata beliau diikuti oleh Amer bin Jurmuz dan disaat akan sholat beliau ditikam sampai meninggal.
Setelah membunuh Sayyidina Zubair ra, Ibnu Jurmuz mengambil kudanya serta senjata dan cincinnya, kemudian dia memberitahu teman temannya akan kejadian tersebut.
Disaat kholifah Ali kw mendengar berita tersebut beliau segera berkata; Saksikanlah bahwa aku pernah mendengar Rosululloh SAW bersabda: Pembunuh Zubeir di Neraka.
(Kanzul Ummal)
Adapun Siti Aisyah ra yang tertawan saat itu, Kholifah Ali kw memperlakukannya dengan sangat hormat dan baik.
Kemudian Kholifah Ali kw memerintahkan Muhamad bin Abubakar Assiddiq ( saudara seayah dengan Siti Aisyah ra) untuk menemui dan melihat keadaan Siti Aisyah ra.
Selanjutnya Kholifah Ali kw memeriksa orang orang yang terbunuh serta memerintahkan agar semuanya dimakamkan. Dan setelah dikumpulkan, Kholifah Ali kw mensholati semua orang yang terbunuh dalam pertempuran tersebut, baik dari fihaknya maupun dari fihak Siti Aisyah ra.
Hal ini membuktikan bahwa semuanya adalah Muslimin, dan andaikata orang orang yang memerangi Imam Ali kw dianggap keluar dari Islam, sebagaimana golongan Syi’ah menghukum mereka, niscaya Kholifah Ali kw tidak mau mensholati mereka.
Kemudian Kholifah Ali kw menghampiri Siti Aisyah ra seraya berkata :
Bagaimana keadaanmu Ya Ummah ?.
Siti Aisyah ra Menjawab: Baik.
Kemudian Kholifah Ali kw berkata;
Semoga Alloh Mengampunimu.
Siti Aisyah ra menjawab: Begitu pula kamu.
Selanjutnya begitu Kholifah Ali kw memasuki kota Basrah, semua pengikut Siti Aisyah ra dan semua penduduk kota Basrah membaiat Kholifah Ali bin Abi Tholib kw.
Selang berapa hari Kholifah Ali kw mempersiapkan pemberangkatan Siti Aisyah ra ke Mekah. Sebab Siti Aisyah ra berkeinginan untuk melaksanakan ibadah Haji. Namun dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa Siti Aisyah akan kembali ke Madinah.
Semua orang yang datang bersama Siti Aisyah ra dari Mekah (pengikut Siti Aisyah) jika mau kembali ke Mekah dipersilahkan, dan yang akan menetap di Basrah dan Kufah juga diperbolehkan.
Kemudian Kholifah Ali kw memerintahkan Muhahamad bin Abubakar untuk mengawal saudaranya, serta memerintahkan empat puluh wanita dari kota Basrah untuk mendampingi Siti Aisyah ra dalam perjalanannya menuju Mekah.
Pada waktu rombongan akan meninggalkan kota Basrah Kholifah Ali kw dan beberapa orang ikut melepas mereka. Dan saat itu Ummul Mukminin Aisyah ra berkata; “Wahai anakku janganlah diantara kita saling menyalahkan”.
Kemudian Kholifah Ali ra berkata; Sesungguhnya beliau adalah istri Rosululloh didunia dan di akhirat.
Demikian telah kami sampaikan secara ringkas peristiwa Perang Jamal, yang terjadi antara Kholifah Ali bin Abi Tholib kw dan pengikutnya disatu fihak dengan Ummul Mukminin Aisyah, Tolhah dan Zubeir Rodhiallohu Anhum dan pengikutnya.
As poor-poor people is
people who lack courtesy and manners.
Characteristic of a civilized person he is very diligent and love tolearn, he is not ashamed to learn than those located lower her
people who lack courtesy and manners.
Characteristic of a civilized person he is very diligent and love tolearn, he is not ashamed to learn than those located lower her
Sabtu, 30 Juli 2011
perang Shiffin
Perang Shiffin (Arab وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam).
1 Shafar tahun 37 Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali dan mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur di Damaskus, menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata. Awalnya, Imam Ali berusaha melakukan perundingan demi mencegah pertumpahan darah di antara sesama muslim. Namun, Muawiyah tetap membangkang dan pecahlah perang di sebuah daerah bernama Shiffin di tepi sungai Furat, Irak. Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Al-Quran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Al-Quran. Imam Ali yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini, delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin direbut dari tangan Imam Ali dan jatuh ke tangan Muawiyah
Perang ini terjadi setelah Muhammad meninggal dan Ali bin Abi Thalib menjabat kekhalifahan dan memaksa Abu Sufyan untuk mengakui kekhalifahannya, dan perang ini terjadi di bukit Shiffin. Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Amru bin Ash dan Ali berhasil menjatuhkan dan melemparkan pedang Amru bin Ash, namun Amru yang menyadari kekalahan dan kematiannya, Amru dengan nekad membuka celananya, sehingga Ali yang akan menghujamkan pedang kearah Amar dan melihat perbuatan Amru, Ali bin Abi Thalib segera memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amru yang telanjang. Sehingga Amru dengan perbuatan memalukannya itu selamat dari tebasan pedang Ali dan Zulfiqar dan juga selamat dari kematian.
Dalam sejarah kehidupan manusia-manusia besar tidak ada yang mampu menyamai sifat kesatriaan Ali bin Abi Thalib, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan walaupun dalam medan pertempuran dan ia adalah manusia yang tidak pernah mengambil keuntungan dari kelemahan lawannya walaupun hal itu bisa membawanya dalam kemenangan dan Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang dalam medan perang tidak pernah menempatkan ego atau hasratnya untuk membunuh lawannya, namun dikarenakan Allah dan nabinya ia mempersembahkan ematian lawannya sebagai hujjah atau bukti pembangkangan lawannya terhadap ke-Esa-an Allah dan kenabian Muhammad.
1 Shafar tahun 37 Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali dan mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur di Damaskus, menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata. Awalnya, Imam Ali berusaha melakukan perundingan demi mencegah pertumpahan darah di antara sesama muslim. Namun, Muawiyah tetap membangkang dan pecahlah perang di sebuah daerah bernama Shiffin di tepi sungai Furat, Irak. Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Al-Quran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Al-Quran. Imam Ali yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini, delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin direbut dari tangan Imam Ali dan jatuh ke tangan Muawiyah
Perang ini terjadi setelah Muhammad meninggal dan Ali bin Abi Thalib menjabat kekhalifahan dan memaksa Abu Sufyan untuk mengakui kekhalifahannya, dan perang ini terjadi di bukit Shiffin. Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Amru bin Ash dan Ali berhasil menjatuhkan dan melemparkan pedang Amru bin Ash, namun Amru yang menyadari kekalahan dan kematiannya, Amru dengan nekad membuka celananya, sehingga Ali yang akan menghujamkan pedang kearah Amar dan melihat perbuatan Amru, Ali bin Abi Thalib segera memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amru yang telanjang. Sehingga Amru dengan perbuatan memalukannya itu selamat dari tebasan pedang Ali dan Zulfiqar dan juga selamat dari kematian.
Dalam sejarah kehidupan manusia-manusia besar tidak ada yang mampu menyamai sifat kesatriaan Ali bin Abi Thalib, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan walaupun dalam medan pertempuran dan ia adalah manusia yang tidak pernah mengambil keuntungan dari kelemahan lawannya walaupun hal itu bisa membawanya dalam kemenangan dan Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang dalam medan perang tidak pernah menempatkan ego atau hasratnya untuk membunuh lawannya, namun dikarenakan Allah dan nabinya ia mempersembahkan ematian lawannya sebagai hujjah atau bukti pembangkangan lawannya terhadap ke-Esa-an Allah dan kenabian Muhammad.
Para Khalifah Bani Fatimiyah
Para Imām Fatimiyah
Kata "Imām" sebagaimana yang digunakan dalam Islām Shīˤa berarti pemimpin pengganti dalam komunitas muslim dari keturunan langsungˤAlī ibn-Abī-Tālib.
1. Abū Muḥammad ˤAbdu l-Lāh (ˤUbaydu l-Lāh) al-Mahdī bi'llāh (910-934) pendiri Fatimiyah
2. Abū l-Qāsim Muḥammad al-Qā'im bi-Amr Allāh bin al-Mahdi Ubaidillah(934-946)
3. Abū Ṭāhir Ismā'il al-Manṣūr bi-llāh (946-953)
4. Abū Tamīm Ma'add al-Mu'izz li-Dīn Allāh (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya
5. Abū Manṣūr Nizār al-'Azīz bi-llāh (975-996)
6. Abū 'Alī al-Manṣūr al-Ḥākim bi-Amr Allāh (996-1021)
7. Abū'l-Ḥasan 'Alī al-Ẓāhir li-I'zāz Dīn Allāh (1021-1036)
8. Abū Tamīm Ma'add al-Mustanṣir bi-llāh (1036-1094)
9. al-Musta'lī bi-llāh (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10. al-Āmir bi-Aḥkām Allāh (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. 'Abd al-Majīd al-Ḥāfiẓ (1130-1149)
12. al-Ẓāfir (1149-1154)
13. al-Fā'iz (1154-1160)
14. al-'Āḍid (1160-1171)
Kata "Imām" sebagaimana yang digunakan dalam Islām Shīˤa berarti pemimpin pengganti dalam komunitas muslim dari keturunan langsungˤAlī ibn-Abī-Tālib.
1. Abū Muḥammad ˤAbdu l-Lāh (ˤUbaydu l-Lāh) al-Mahdī bi'llāh (910-934) pendiri Fatimiyah
2. Abū l-Qāsim Muḥammad al-Qā'im bi-Amr Allāh bin al-Mahdi Ubaidillah(934-946)
3. Abū Ṭāhir Ismā'il al-Manṣūr bi-llāh (946-953)
4. Abū Tamīm Ma'add al-Mu'izz li-Dīn Allāh (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya
5. Abū Manṣūr Nizār al-'Azīz bi-llāh (975-996)
6. Abū 'Alī al-Manṣūr al-Ḥākim bi-Amr Allāh (996-1021)
7. Abū'l-Ḥasan 'Alī al-Ẓāhir li-I'zāz Dīn Allāh (1021-1036)
8. Abū Tamīm Ma'add al-Mustanṣir bi-llāh (1036-1094)
9. al-Musta'lī bi-llāh (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10. al-Āmir bi-Aḥkām Allāh (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. 'Abd al-Majīd al-Ḥāfiẓ (1130-1149)
12. al-Ẓāfir (1149-1154)
13. al-Fā'iz (1154-1160)
14. al-'Āḍid (1160-1171)
Kekhalifaan Fatimiyah
Fatimiyah, atau al-Fāthimiyyūn (bahasa Arab الفاطميون) ialah penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, danSyam dari 5 Januari 910 hingga 1171. Negeri ini dikuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang Syi'ah. Pemimpinnya juga para imam Syiah, jadi mereka memiliki kepentingan keagamaan terhadap Isma'iliyyun. Kadang dinasti ini disebut pula dengan Bani Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti.
Fatimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibukotanya dipindahkan ke Kairo.
Di masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah,Yaman, dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.
Fatimiyah didirikan pada 909 oleh ˤAbdullāh al-Mahdī Billa, yang melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Nabi Muhammad dari jalurFāthimah az-Zahra dan suaminya ˤAlī ibn-Abī-Tālib, {Imām Shīˤa pertama. Oleh karena itu negeri ini bernama al-Fātimiyyūn "Fatimiyah".
Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibukota yang dibangun di Tunisia.
Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibukota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairomodern)- rujukan pada munculnya planet Mars. Mereka terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia keSuriah dan malahan menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.
Tak seperti pemerintahan di sama, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahandengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara di masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir.
Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya, Salahuddin Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169, membentuk Dinasti Ayyubi Sunni.
Fatimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibukotanya dipindahkan ke Kairo.
Di masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah,Yaman, dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.
Fatimiyah didirikan pada 909 oleh ˤAbdullāh al-Mahdī Billa, yang melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Nabi Muhammad dari jalurFāthimah az-Zahra dan suaminya ˤAlī ibn-Abī-Tālib, {Imām Shīˤa pertama. Oleh karena itu negeri ini bernama al-Fātimiyyūn "Fatimiyah".
Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibukota yang dibangun di Tunisia.
Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibukota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairomodern)- rujukan pada munculnya planet Mars. Mereka terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia keSuriah dan malahan menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.
Tak seperti pemerintahan di sama, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahandengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara di masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir.
Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya, Salahuddin Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169, membentuk Dinasti Ayyubi Sunni.
Isi Teks Proklamasi
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Selasa, 26 Juli 2011
Bani Hasyim
Bani Hasyim (Bahasa Arab: بنو هاشم) adalah salah satu marga/klan dalam suku Quraish. Nabi Muhammad adalah anggota dari marga ini; Ayah dari kakek Muhammad adalah Hasyim bin Abdul Manaf, sesuai dengan nama marga. Anggota dari marga ini sering dipanggil Hashemites atau Hasyimiyah.
Bani Hasyim merupakan anggota dari marga Bani Abdul Manaf, marga yang paling terhormat dalam suku Quraish. Selain Bani Hasyim, cabang lainnya dari marga Bani Abdul Manaf adalah Bani Muththalib dan Bani Abdus Syams yang menurunkan Bani Umayyah. Selain itu Bani Hasyim juga menurunkan Bani Abbasiyah yang kemudian menjalankan kekhalifahan setelah mengalahkan Bani Umayyah.
Abdul Manaf sendiri sebenarnya berarti "abdi (hamba) dari Manaf". Sedangkan Manaf adalah salah satu dewa yang dipuja-puja oleh bangsa Arab suku Quraish dan sekitarnya pada masa pra-Islam.
Setelah meninggalnya kakek Nabi Muhammad yang bernama Abdul Muthalib, Abu Thalib, paman Muhammad menjadi kepala marga. Bani Hasyim merupakan salah satu marga penting di suku Quraish pada saat kelahiran Muhammad. Hal ini dikarenakan tugas Bani Hasyim untuk menjaga Ka'bah.
Pada masa awal kenabian dari Muhammad, pamannya Abu Thalib merupakan kepala marga, dan dia mendapat tekanan keras dari seluruh suku Quraish karena penyebaran agama yang dilakukan Muhammad. Walaupun begitu, Abu Thalib tidak pernah berhenti mendukung Muhammad. Anak Abu Thalib, Ali merupakan laki-laki pemeluk Islam pertama dan suami dari puteri Muhammad, Fatimah az-Zahra. Sesuai dengan kepercayaan Syi'ah, Abu Thalib merupakan pemeluk Islam pertama yang menyembunyikan ke-Islam-annya, tetapi menurut Sunni, Abu Thalib tidak pernah mengucapkan kalimat Syahadat, dan meninggal bukan sebagai Muslim. Abu Thalib dan saudara-saudaranya berperan atas memberikan makan dan minum bagi peziarah yang datang ke Makkah setiap tahun untuk mengunjungi Ka'bah, yang dibangun oleh Ibrahim. Saat itu, berhala dari berbagai suku diletakkan di dalam Ka'bah, lebih dari 300, termasuk gambar Isa bin Maryam.
Bani Hasyim merupakan anggota dari marga Bani Abdul Manaf, marga yang paling terhormat dalam suku Quraish. Selain Bani Hasyim, cabang lainnya dari marga Bani Abdul Manaf adalah Bani Muththalib dan Bani Abdus Syams yang menurunkan Bani Umayyah. Selain itu Bani Hasyim juga menurunkan Bani Abbasiyah yang kemudian menjalankan kekhalifahan setelah mengalahkan Bani Umayyah.
Abdul Manaf sendiri sebenarnya berarti "abdi (hamba) dari Manaf". Sedangkan Manaf adalah salah satu dewa yang dipuja-puja oleh bangsa Arab suku Quraish dan sekitarnya pada masa pra-Islam.
Setelah meninggalnya kakek Nabi Muhammad yang bernama Abdul Muthalib, Abu Thalib, paman Muhammad menjadi kepala marga. Bani Hasyim merupakan salah satu marga penting di suku Quraish pada saat kelahiran Muhammad. Hal ini dikarenakan tugas Bani Hasyim untuk menjaga Ka'bah.
Pada masa awal kenabian dari Muhammad, pamannya Abu Thalib merupakan kepala marga, dan dia mendapat tekanan keras dari seluruh suku Quraish karena penyebaran agama yang dilakukan Muhammad. Walaupun begitu, Abu Thalib tidak pernah berhenti mendukung Muhammad. Anak Abu Thalib, Ali merupakan laki-laki pemeluk Islam pertama dan suami dari puteri Muhammad, Fatimah az-Zahra. Sesuai dengan kepercayaan Syi'ah, Abu Thalib merupakan pemeluk Islam pertama yang menyembunyikan ke-Islam-annya, tetapi menurut Sunni, Abu Thalib tidak pernah mengucapkan kalimat Syahadat, dan meninggal bukan sebagai Muslim. Abu Thalib dan saudara-saudaranya berperan atas memberikan makan dan minum bagi peziarah yang datang ke Makkah setiap tahun untuk mengunjungi Ka'bah, yang dibangun oleh Ibrahim. Saat itu, berhala dari berbagai suku diletakkan di dalam Ka'bah, lebih dari 300, termasuk gambar Isa bin Maryam.
Langganan:
Postingan (Atom)